Kamis, 04 Agustus 2011

Kendala International Criminal Court (ICC) dalam Mengimplementasikan Keputusannya tentang Penangkapan Presiden Sudan Omar Al Bashir th 2005-2009


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Sudan merupakan sebuah negara yang terletak di benua Afrika dengan luas sekitar 1 juta mil.[1] Sudan Utara dan Sudan Selatan merupakan wilayah yang menjadi permasalahan bagi pemerintah. Sudan Utara dan Sudan Selatan menjadi perhatian dunia karena wilayah tersebut, yang menjadi awal mula terjadinya konflik berkepanjangan di Sudan. Kedua wilayah tersebut memiliki letak yang berjauhan, agama yang bermacam-macam, suku, etnis, gaya hidup dan lain-lain. Pada saat Inggris menjajah negara ini , wilayah Utara dan Selatan diterapkan kebijakan yang berbeda dengan lebih mengutamakan dan menguntungkan Sudan Utara.[2] Keadaan tersebut terus berlangsung ketika Sudan merdeka dari Inggris, dimana pemerintah terus bersikap tidak adil kepada masyarakat Selatan.
1
 
Darfur yang terletak di Sudan Barat, merupakan tempat terjadinya konflik antara pemerintah Sudan dengan kelompok pemberontak. Darfur mayoritas masyarakatnya beragama Islam, terdapat kurang lebih 80 suku yang beraneka ragam. Suku tersebut dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok Arab yang disebut Baggara; terdiri dari suku Rizaigad, Mahariya, Irayqat, dan Habaniya; dan kelompok non-Arab disebut juga Afrika hitam yang terdiri dari suku Fur yang paling besar, Zaghawa (terbagi menjadi dua yaitu Zaghawa Tuer dan Zaghawa Kube), Massalit, Tunjur, Bergid dan Berti.[3] Kedua kelompok ini sering sekali mengalami konflik tradisional dimana mereka saling memperebutkan sumber daya alam. Konflik-konflik kecil yang terjadi dapat diselesaikan dengan cara adat mereka. Darfur telah mengalami krisis yang berkepanjangan, bencana kekeringan melanda selama 30 tahun khususnya di wilayah sekitar gurun pasir yang didiami oleh kurang lebih enam juta penduduk.[4] Hal ini sudah membuat kehidupan masyarakat menderita, dan ditambah dengan adanya konflik di wilayah ini semakin menyengsarakan mereka.
Konflik Darfur merupakan konflik antara kelompok pemberontak Sudanese People’s Liberation Movement/Army (SPLM/A) dan Justice and Equality Movement (JEM) dengan pemerintah Sudan atau Government of Sudan (GoS) dan pasukan militer Janjaweed. Pemerintah mengerahkan pasukan militer berkuda yang merupakan orang-orang Sudan keturunan Arab yang biasa disebut Janjaweed, untuk mengatasi para pemberontak.[5] Pemberontakan yang dilakukan oleh SPLM/A dan JEM dikarenakan mereka kecewa dengan pemerintah yang dinilai telah berlaku tidak adil kepada mereka terutama masyarakat Selatan, adanya diskriminasi berupa pembatasan hak-hak sipil sehingga menyebabkan kesenjangan sosial antara masyarakat Sudan Utara dan Selatan. Oleh karena itu, mereka melakukan penyerangan dimulai dari wilayah Gulu ibukota dari Jebelmara kemudian Kutum, Tina, Mellit dan Al Fasher.
Konflik Darfur terjadi pada saat Sudan dipimpin oleh Omar Al Bashir yang menjadi Presiden setelah ia melakukan kudeta bersama National Islamic Front (NIF) tanggal 30 Juni 1989 yang merebut kekuasaan dari pemerintahan koalisi Partai Persatuan Demokrasi dan Partai Umma dibawah Presiden Ali Osman Mirghani, yang mana kudeta tersebut dikenal sebagai “Revolusi Penyelamat Nasional” (Revolusi Al-Inqaz Al-Wathoni).[6] Kudeta dilakukan karena melihat situasi di Sudan yang tidak kondusif, dimana dibawah pemerintahan Presiden Mirghani sering terjadi konflik politik dan pemberontakan rakyat.
Human Right Watch menemukan bukti adanya kesamaan antara pasukan Janjaweed dengan pasukan pemerintah Sudan seperti persenjataan yang dimiliki oleh kedua belah pihak yang sama, dan kedua pasukan tersebut merupakan pasukan yang sama.[7] Janjaweed diperintahkan untuk menghancurkan seluruh pemberontak, faktanya tidak hanya pemberontak yang diserang namun penduduk sipil ikut pula menjadi korban serangan. Warga sipil yang berada di Darfur menjadi korban kekejaman dari militer Janjaweed seperti kekerasan fisik, pemboman atas fasilitas-fasilitas umum serta rumah-rumah penduduk dan lain-lain.[8]
Konflik Darfur telah mengakibatkan sekitar 300.000 jiwa meninggal dunia, 2.500.000 orang mengungsi ke tempat-tempat pengungsian, dan menimbulkan Internally Displaced Persons (IDP).[9] Para penduduk sipil yang banyak menjadi korban berasal dari suku Fur, Massalit dan Zaghawa. Situasi konflik semakin mengkhawatirkan dengan wilayah yang terpencil, pemerintah Sudan melakukan pembatasan wilayah, bantuan kemanusiaan yang diperuntukkan untuk para korban tidak dapat masuk karena tidak memiliki akses-akses ke Darfur akibat serangan yang dilancarkan dari para pemberontak. Angkatan bersenjata pemerintah, polisi militer, pasukan Janjaweed dan kelompok-kelompok bersenjata lainnya mendirikan pos-pos pemeriksaan dimana bantuan kemanusiaan yang datang kendaraannya dibajak, bahan makanan dan barang-barang yang dibawa diambil oleh mereka, para pengemudi di serang, diculik bahkan dibunuh. [10]
Situasi yang terjadi di Darfur membuat perhatian dunia internasional tertuju kepada permasalahan ini. Berbagai negara mengecam atas sikap pemerintah Sudan dan Janjaweed yang melakukan serangan balasan kepada para pemberontak. Mereka juga menilai penyelesaian yang dilakukan bukan dengan cara-cara damai melainkan dengan kekerasan, walaupun  upaya-upaya diplomasi telah dan sedang dilakukan namun tidak berkontribusi dengan baik. Pada tahun 2004, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) akhirnya turun tangan untuk menyelesaikan konflik Darfur melalui Dewan Keamanan (DK) PBB.
Upaya DK dengan mengeluarkan resolusi-resolusi seperti resolusi 1547 tahun 2004 mengenai pembentukan United Nations Advance Mission in Sudan (UNAMIS) untuk memfasilitasi proses perdamaian yamg dilakukan oleh Inter Governmental Authority for Development (IGAD).[11] Dikeluarkan pula resolusi 1556 yang memerintahkan pasukan militer Janjaweed untuk melucuti senjata mereka dalam waktu sebulan, resolusi 1564 tahun 2004 DK meminta kepada pemerintah Sudan untuk lebih memperhatikan masyarakat dan bekerjasama dengan Uni Afrika yang melakukan pemantauan terhadap kondisi para penduduk sipil. Resolusi 1574 tahun 2004 mengenai dukungan terhadap komitmen yang dibuat oleh pemerintah Sudan dan SPLM/A untuk menandatangani Comprehensive Peace Agreement.[12]
Resolusi 1585 tahun 2005 mengenai perpanjangan mandat kepada UNAMIS sampai tanggal 17 Maret 2005, resolusi 1588 tahun 2005 mengenai pembaharuan perpanjangan mandat UNAMIS sampai dengan tanggal 24 Maret 2005.[13] Resolusi 1590 tahun 2005 mengenai pembentukan United Nations Mission in Sudan (UNMIS), resolusi 1591 tahun 2005 mengenai larangan berpergian dan pembekuan terhadap aset para pejabat pemerintah serta pemberontak. Resolusi 1593 tahun 2005 mengenai pemberian sanksi tambahan untuk Sudan, embargo senjata, dan membawa masalah konflik Darfur ke International Criminal Court (ICC).
ICC merupakan pengadilan independen yang permanen dan bukan bagian dari PBB.[14] Kedua lembaga ini memiliki perjanjian hubungan diantara masing-masing pihak. Perjanjian tersebut menjelaskan hubungan yang dijalani oleh ICC dan PBB, dimana masing-masing pihak saling menghargai dan menghormati kedudukan mereka. ICC dan PBB saling bekerjasama untuk membantu menyelesaikan suatu permasalahan dengan saling bertukar informasi, bertukar pendapat dan lain-lain.[15]
Permasalahan Darfur dibawa ke meja pengadilan ICC berdasarkan resolusi 1593 tahun 2005, hal ini dilakukan untuk membantu menyelesaikan konflik Darfur, agar tidak menjatuhkan korban jiwa yang lebih besar, serta tidak mengancam perdamaian dunia. Khususnya untuk menyelidiki individu-individu yang dinilai bertanggung jawab atas keadaan di Darfur. Pada tanggal 6 Juni 2005, ICC resmi membuka penyelidikan atas konflik Darfur.[16] Investigasi dilakukan oleh Jaksa Penuntut, Luis Moreno-Ocampo yang berasal dari Argentina. Selama proses penyelidikan, Jaksa Ocampo mengumpulkan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Presiden Bashir bertanggung jawab atas konflik Darfur.
Jaksa Ocampo melalui Pre-Trial Chamber mengeluarkan keputusan nomor ICC-02/05-01/09 pada tanggal 4 Maret 2009, yang berisikan surat perintah penangkapan terhadap Presiden Omar Al-Bashir yang diputuskan bersalah dan bertanggung jawab atas konflik Darfur. Berdasarkan Statuta Roma pasal 25 ayat 3 (a)[17], Bashir di dakwa telah melakukan tujuh kesalahan yaitu :[18]
1.   Pembunuhan (pasal 7 ayat 1 (a));
2.   Pembantaian atau pemusnahan (pasal 7 ayat 1 (b));
3.   Pemaksaan kekuatan untuk deportasi atau memindahkan penduduk (pasal 7 ayat 1 (d));
4.   Penganiyaan dan penyiksaan (pasal 7 ayat 1 (f));
5.   Pemerkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostisusi, penghamilan paksa, dan kekerasan-kekerasan seksual lainnya (pasal 7 ayat 1 (g));
6.   Penyerangan secara langsung dan sengaja terhadap penduduk sipil, masing-masing penduduk sipil yang tidak ikut serta secara langsung dalam permusuhan (pasal 8 ayat 2 e (i));
7.   Perampasan atau menjarah suatu kota atau tempat, sekalipun tempat itu dikuasai lewat serangan (pasal 8 ayat 2 e  (v));
Keputusan tersebut belum dapat dilaksanakan dengan baik karena munculnya penolakan-penolakan yang keras dari berbagai pihak, baik  internal maupun eksternal. Penolakan internal datang dari Omar Al Bashir dan aktor-aktor dalam negeri Sudan seperti masyarakat, ulama-ulama, Duta Besar Sudan untuk PBB dan lain-lain. Penolakan eksternal datang dari Uni Afrika, Liga Arab dan China. Pada saat keputusan tersebut dikeluarkan Bashir sedang berada di Khartoum ibu kota Sudan, dan keesokan harinya ia menyampaikan pernyataan didepan para pendukungnya yang mengecam Amerika Serikat, dan para sekutu. Bashir menentang dengan keras keputusan tersebut, ia menyatakan bahwa penjahat perang yang sebenarnya adalah para pemimpin negara Barat.[19] Ia juga menyatakan bahwa pihak Barat tersebut dilarang untuk ikut campur urusan dalam negeri Sudan, dan tidak melakukan hal-hal yang dapat mengancam keamanan serta stabilitas Sudan.
 Dalam negeri Sudan bergejolak setelah keputusan tersebut keluar, dimana masyarakat menolak perintah penangkapan terhadap presiden mereka dengan melakukan aksi-aksi unjuk rasa sebagai dukungan terhadap Bashir. Para ulama mengeluarkan fatwa bagi Bashir untuk tidak berpergian keluar negeri karena dikhawatirkan ia akan ditangkap dan diserahkan ke ICC jika ia keluar dari negaranya.[20]
Dewan Uni Afrika mengeluarkan keputusan berdasarkan surat keputusan assembly/AU/Dec.255(XIII) Rev.1 yang menolak untuk bekerjasama menangkap dan menyerahkan Presiden Bashir ke ICC.[21] Uni Afrika menilai perintah tersebut akan membuat keamanan dan stabilitas Sudan menjadi terganggu. Tidak hanya itu, perhatian Uni Afrika dari keluarnya surat ICC yakni dapat mengancam proses perdamaian yang sedang dijalani antara pemerintah Sudan dengan pemberontak. Liga Arab setelah mendengar keputusan tersebut menolak dan mengecam dakwaan yang diberikan kepada Presiden Sudan. Para pemimpin Liga Arab pada saat KTT 21 di Qatar, menyatakan penolakan mereka mengenai keputusan ICC dan sepenuhnya akan mendukung Bashir serta tidak akan menyerahkannya ke ICC.[22]
China menolak keputusan penangkapan tersebut dikarenakan adanya kepentingan nasional mereka terkait energy security dalam hal ini minyak. Sudan merupakan negara pemasok minyak bagi China sebesar 60% karena kandungan minyak yang terdapat di Sudan cukup besar. Pada tahun 2003, tercatat China telah membawa 10 juta ton minyak dari Sudan.[23] Hubungan antara China dengan Sudan menjadi lebih kompleks, karena China sebagai pemasok utama persenjataan pada konflik Darfur. Kerjasama diantara mereka merupakan kerjasama timbal balik yang saling menguntungkan khususnya China. Faktor-faktor diatas merupakan kendala ICC untuk mengimplementasikan keputusannya dalam menangkap Presiden Bashir.

B.  Perumusan Masalah
Kecaman-kecaman dan protes keras yang ditujukkan dari berbagai negara kepada pemerintah Sudan tidak membuat Presiden Omar Al-Bashir gentar.  Ia tetap pada pendiriannya dengan menyatakan bahwa apa yang terjadi di Darfur tidak seperti yang dikatakan oleh banyak pihak dan korban yang berjatuhan tidak banyak seperti yang telah dilansir selama ini. Situasi yang tejadi di Darfur menurutnya bukan sebuah kejahatan perang tapi sebuah bentuk tindakan penyelamatan bagi negara dan rakyatnya dari aksi para pemberontak.[24]
Meskipun Bashir tetap pada pendiriannya masyarakat internasional terutama dalam hal ini PBB dan ICC juga tetap pada pendiriannya bahwa yang terjadi di Darfur merupakan sebuah kejahatan perang dan telah melanggar hukum humaniter internasional sehingga membuat kesengsaraan bagi masyarakat di Darfur.[25] PBB dan ICC juga berkeyakinan bahwa pemerintah Sudan telah lalai dalam mengatasi persoalan ini sehingga menyebabkan banyaknya korban yang berjatuhan. Situasi konflik yang terus memburuk dengan kekerasan yang terjadi membuat ICC menjatuhkan dakwaan bersalah dan menjadikan Omar Al Bashir, presiden pertama yang masih menjabat sebagai tersangka dalam konflik Darfur. Berdasarkan surat keputusannya Bashir diperintahkan untuk ditangkap agar diadili.
Berdasarkan penjelasan di atas perumusan masalah dalam skripsi ini ialah “Kendala apa saja yang dihadapi oleh Internasional Criminal Court (ICC) sehingga gagal mengimplementasikan keputusannya no. ICC-02/05-01/09 tentang penangkapan Presiden Omar Al-Bashir?”

C.  Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi oleh ICC, sehingga tidak dapat mengimplementasikan keputusan mereka untuk menangkap Presiden Bashir. Terdapat dua faktor kendala bagi ICC yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal adanya penolakan dari Bashir, aktor-aktor dalam negeri Sudan, serta faktor eksternal dengan adanya penolakan yang datang dari Uni Afrika, Liga Arab dan China.
Manfaat penelitian ini yaitu :
1.  Untuk mengetahui permasalahan konflik Darfur.
2.    Untuk mengetahui proses investigasi yang dilakukan oleh PBB dan ICC terutama upaya implementasi keputusannya untuk menangkap Presiden Bashir.
3.   Untuk mengetahui mengapa banyak pihak-pihak yang menentang keputusan ICC.

D.  Tinjauan Pustaka
Penulis dalam skripsi ini melakukan tinjauan pustaka dengan menggunakan tulisan yang ditulis oleh Michael E. Brown “Ethnic and International Conflict: Causes and Implications, Turbulent Peace: The Challenges of Managing International Conflict”, (Washington DC: United States of Peace Press, 2001). Ia menjelaskan penyebab dari terjadinya ethnic conflicts dan internal conflicts. Brown menyebutkan bahwa Sudan termasuk negara yang mengalami ethnic conflict disuatu negara. Ia membagi ethnic conflict kedalam empat faktor diantaranya structural factors, political factors, economic/social factors, dan cultural/perceptual factors.
Structural Factors terdiri dari weak states, intrastate security concerns, ethnic geography. Weak states dimana situasi politik di Sudan yang mengalami ketidak stabilan karena sering terjadinya kudeta terhadap pemerintahan, pemerintah tidak mampu membangun ekonomi yang baik, dan kompetisi antar aktor. Intrastate security concerns merupakan persepsi anacaman yang timbul dari kelompok-kelompok pemberontak Sudan sehingga digunakannya kekuatan militer oleh pemerintah yang akhirnya menciptakan security dilemma. Ethnic geography dalam arti setiap negara yang memiliki berbagai macam etnik sangat rawan, hal ini yang terjadi di Sudan dengan banyaknya etnik yang ada membuat etnik yang satu dengan yang lain saling bertikai. Karena setiap etnik suku memiliki adat budaya, agama dan kehidupan yang berbeda.
Political Factors terdiri dari discriminatory political institutions, exclusionary national ideologies, intergroup politics, elite politics. Discriminatory political institutions dimana kelompok pemberontak SPLM/A dan JEM yang berada di Sudan berasal dari etnis yang tertindas oleh pemerintah. Mereka merasa tidak puas dengan sikap pemerintah Sudan yang diskriminatif, adanya pembedaan perlakuan antara Sudan Selatan dan Utara, sehingga mereka melakukan pemberontakan. Exclusionary national ideologies merupakan nasionalisme etnis atau agama yang sangat kuat, masyarakat sudan yang berbagai macam etnis dan agama sangat menjunjung tinggi adat dan keyakinan mereka masing-masing. Intergroup politics merupakan kompetisi antar kelompok, yang mana kelompok-kelompok yang ada di Sudan mempunyai ambisi masing-masing terutama didalam pemerintahan, dan mereka memilik kekuatan identitas. Elite politics yang mana profokasi dilakukan oleh para elit-elit politik, khususnya saat terjadi kekacauan dalam situasi politik, ekonomi, untuk menghadapi para lawan-lawan politik mereka demi mewujudkan ambisinya.
Economic/social Factors terdiri dari economic problems, discriminatory economic systems, economic development and modernization. Economic problems merupakan situasi negara yang tidak stabil dan ditambah dengan keadaan sosial masyarakat yang tidak baik. Perekonomian Sudan sangat buruk dengan menjadi negara termiskin pasca merdeka, dan kondisi sosial masyarakat yang bersengketa sehingga pembangunan ekonomi tidak dapat berjalan. Discriminatory economic systems yakni adanya kesenjangan akses ekonomi antara wilyah Sudan Selatan dan Sudan Utara, yang mana Sudan Selatan tidak mendapatkan akses ekonomi yang baik seperti yang didapatkan oleh Sudan Utara.  Economic development and modernization yakni dengan keadaan yang telah dijelaskan diatas membuat  pembangunan ekonomi berjalan lambat, khususnya untuk melakukan modernisasi.
Cultural/ perceptual Factors terdiri dari patterns of cultural discrimination, problematic group histories. Patterns of cultural discrimination  dimana adanya pembatasan terhadap akses pendidikan, pekerjaan, kesehatan yang diberikan oleh pemerintah kepada Sudan Selatan. Problematic group histories yakni sejarah permusuhan antar etnis, dimana permusuhan yang terjadi tidak lepas dari sejarah masa lalu Sudan saat masih dijajah oleh Inggris. Karena pemerintah Inggris telah melakukan pembedaan sikap dan kebijakan bagi dua wilayah Sudan yaitu Utara dan Selatan. Kedua wilayah tersebut sengaja dipisahkan sehingga masing-masing wilayah berdiri dan berkembang sesuai dengan apa yang mereka dapatkan selama pemerintahan Inggris. Faktor-faktor tersebutlah yang dinilai sebagai penyebab terjadinya ethinc conflicts dan internal conflicts.
Di dalam jurnal International Affairs Review Vol. XV, No.1 Spring/Summer 2006, “Justice for War Crimes in Sudan: Is The International Criminal Court The Answer?” oleh Sharon Alavi,  menjelaskan bagaimana permasalahan konflik Darfur oleh PBB dibawa ke ICC berdasarkan resolusi 1593 tahun 2005 untuk dilakukan proses  investigasi dan peradilan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut. Sudan menolak keberadaan ICC dan tidak mau bekerjasama karena ICC tidak memiliki yurisdiksi terhadap Sudan, dikarenakan Sudan tidak meratifikasi Statuta Roma sehingga putusan-putusan yang dikeluarkan oleh ICC tidak mengikat Sudan.
Sharon menjelaskan meskipun Sudan tidak meratifikasi Statuta Roma ICC tetap dapat melakukan tugasnya berdasarkan wewenang dari BAB 7 piagam PBB, serta diperkuat oleh pasal 13 (b) Statuta Roma yang menyatakan situasi yang menimbulkan kejahatan diserahkan kepada jaksa yang tindakannya berada dibawah BAB 7 piagam PBB. Terdapat beberapa pihak yang memiliki perbedaan pendapat mengenai diserahkannya masalah Darfur ke ICC, mereka mencoba mengusulkan alternatif lain selain menyerahkan permasalahan ini ke ICC. Pengadilan yang ditawarkan merupakan pengadilan-pengadilan ad hoc yang memiliki berbagai kekurangan. Sharon menegaskan bahwa ICC merupakan tempat yang tepat untuk konflik Darfur.
“An Introduction to The International Criminal Court”, Second Edition, Cambridge University Press 2004, oleh William A. Schabas. William menjelaskan tentang ICC yang diperkenalkan sebagai independent permanent court. ICC didirikan untuk mengadili individu-individu yang diduga melakukan kejahatan yang sangat serius dan menjadi perhatian dunia internasional seperti war crimes, crimes against humanity dan genocide. ICC didalam melakukan keputusan untuk menjatuhkan dakwaan kepada seseorang yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap tiga hal permasalahan diatas berdasarkan Statuta Roma yang menjadi landasan hukumnya. War crimes dijelaskan dalam pasal 8 Statuta Roma yaitu melakukan tindakan berupa penyerangan kepada penduduk sipil dengan sengaja, menyerang penduduk dengan pemboman terhadap kota, desa, fasilitas-fasilitas umum dan lain-lain.
Crimes against humanity  dijelaskan dalam pasal 7 Statuta Roma melakukan tindakan yang berupa penyerangan secara sistematis atau yang tersebar luas ditujukkan kepada penduduk sipil seperti pembunuhan, kekerasan fisik, psikis, seksual, dan lain-lain. Genocide dijelaskan dalam pasal 6 Statuta Roma yaitu melakukan tindakan yang dimaksudkan untuk menghancurkan secara keseluruhan baik sebuah warganegara, etnik atau suku, ras, kelompok-kelompok agama dengan cara membunuh ataupun menyebabkan kerusakan terhadap fisik dan mental kepada semua anggota-anggota dari kelompok tersebut.
Di dalam jurnal Hukum Humaniter Vol.1, No.2 April 2006, “Beberapa Catatan Tentang Pengadilan Pidana Internasional AD HOC Untuk Yugoslavia dan Rwanda Serta Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Negara Dalam Pelanggaran Berat HAM”, Pusat Studi Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia (terAs), Fakultas Hukum Universitas Trisakti, oleh Rudi M. Rizki, menjelaskan tentang keberadaan pengadilan-pengadilan ad hoc diantaranya Nuremberg and Tokyo Tribunal, International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR). Pengadilan-pengadilan tersebut memberikan pengaruh yang besar atas upaya penegakkan terhadap impunity dan menjadi awal mula pembentukannya International Criminal Court.
Rizki menjelaskan pula mengenai latar belakang terjadinya konflik Darfur, pihak-pihak yang terlibat di dalamnya yakni pemerintah Sudan dan Janjaweed dengan kelompok pemberontak SPLM/A dan JEM. Tindakan-tindakan kejam yang dilakukan oleh Janjaweed kepada para penduduk sipil terutama suku Fur, Massalit dan Zaghawa. Dibentuknya International Commission of Inquiry on Darfur berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB no 1564 tahun 2004, yang bertugas untuk menyelidiki adanya laporan telah terjadi pelanggaran terhadap hukum humaniter dan hak asasi manusia selama konflik Darfur berlangsung. Menjelaskan tentang resolusi DK PBB no 1593 tahun 2005 yang menyerahkan permasalahan Darfur ke ICC, serta respon dari Jaksa Penuntut ICC mengenai resolusi tersebut. Jaksa Penuntut ICC mengumpulkan informasi dan bukti-bukti untuk memutuskan akan diterimanya masalah Darfur agar diselidiki atau tidak.



E.   Kerangka Teori
Teori yang digunakan untuk mengkaji permasalahan ini ialah teori human security, teori justice, dan teori kepentingan nasional. Teori human security berdasarkan United Nations Development Program (UNDP) Human Development Report 1994 menjelaskan bahwa human security ialah permasalahan yang mengenai kelangsungan hidup manusia dan harga diri manusia.[26] Aspek kemanan merupakan salah satu faktor penting didalam human security. Keamanan dalam hal ini individu-individu bebas dari ancaman-ancaman yang dahsyat seperti kelaparan, wabah penyakit dan penindasan. Perlindungan dari gangguan-gangguan yang menyakitkan yang terjadi secara tiba-tiba dalam kehidupan sehari-hari baik lingkungan tempat tinggal, pekerjaan maupun komunitas. Terdapat 7 kategori human security yang dijelaskan diantaranya :
1. Economic security : bebas dari kemiskinan
2. Food security : bebas dari rasa kelaparan
3. Health security : bebas dan perlindungan dari wabah penyakit, mendapatkan akses untuk perawatan kesehatan.
4. Environmental security : tersedianya air bersih, udara dan perlindungan dari adanya bahaya polusi lingkungan.
5. Personal security : bebas dari rasa takut terhadap kekerasan, bentuk-bentuk kejahatan (pemerkosaan, human trafficking, drugs trafficking, dan lain-lain).
6. Community security : bebas untuk berada di dalam suatu kelompok tertentu.
7. Political security : bebas untuk menerapkan hak-hak asasi manusia dengan tanggung jawab.
Berdasarkan teori diatas masyarakat Darfur nyatanya merasakan hal yang sebaliknya dimana dengan adanya konflik mereka mengalami kemiskinan, kelaparan, menderita penyakit karena adanya wabah penyakit yang muncul di tempat-tempat pengungsian. Akses pengobatan yang tidak ada, tidak adanya udara dan air yang bersih dan lain-lain. Mengalami ketakutan dan trauma yang mendalam akibat kekerasan, kekejaman dan perlakuan buruk yang mereka terima terutam bagi perempuan dan anak-anak karena mereka yang lebih dieksploitasi. Tidak dapat bergabung atau berada di dalam suatu komunitas yang berbeda, dan tidak merasakan hak-hak asasi manusia mereka berjalan dengan semestinya. Telah terjadinya pelanggaran human security yang berat selama konflik Darfur berlangsung, sehingga banyak memakan korban jiwa dan pengungsi serta imigran-imigran yang berusaha keluar dari Sudan.
 A Theory of Justice”, Revised Edition, Oxford University Press 2000, yang ditulis oleh John Rawls.[27] Rawls menjelaskan subjek utama dari justice adalah struktur dasar masyarakat yang mana institusi sosial dapat menyebarkan hak-hak dasar manusia. Rawls menyatakan ada dua prinsip dari justice yaitu :
1. Setiap manusia mempunyai hak yang sama atas kehidupan mereka.
2. Setiap individu berhak untuk berkegiatan dalam bidang ekonomi, politik dan sosial.
Situasi dan kondisi yang dialami oleh masyarakat Sudan jauh dari kata adil, yang mana mereka tidak mendapatkan kebebasan yang menjadi hak dasar setiap individu. Adanya pembedaan perlakuan yang diterapkan oleh pemerintah Sudan yang merupakan warisan dari kolonial Inggris, masyarakat Sudan tidak mendapatkan kebebasan mereka dalam berpolitik, kebebasan untuk berbicara menyatakan pendapat, kebebasan untuk berfikir. Mereka mendapatkan penindasan yang dilakukan oleh pasukan militer Janjaweed baik secara fisik dan psikologi. Sulitnya untuk mendapatkan akses-akses seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, berada di dalam suatu institusi-institusi atau kelompok-kelompok yang memang dibatasi oleh pemerintah. Masyarakat tidak memperoleh situasi dan kondisi yang adil dan sama rata terutama antara Sudan Utara dan Sudan Selatan. Pembangunan dan pengembangan antara kedua wilayah tersebut sangat jauh berbeda sehingga wilayah Utara lebih unggul atau dominan terhadap pemerintahan dibandingkan wilayah Selatan.
Perbedaan perlakuan yang diterima masyarakat Selatan membuat mereka memberontak, memberikan perlawanan kepada pemerintah. Perlawanan mereka akhirnya pecah dengan terjadinya peperangan di Darfur. ICC dalam hal ini sebagai sebuah institusi yang didirikan untuk menegakkan keadilan dapat menjalankan fungsi mereka supaya mengakhiri kerugian yang tercipta, membantu menyelesaikan konflik, memperbaiki kekurangan dari pengadilan-pengailan ad hoc yang ada. Mengambil alih ketika sistem keadilan menyangkut kriminal tidak mampu atau tidak bersedia untuk bertindak atau mencegah terjadinya kejahatan perang baik di masa lalu maupun yang akan datang.
Politics Among Nations, “The Struggle and Peace”, (New York, Alfred W.Knopf, Inc, 1985), yang ditulis oleh Hans J. Morgenthau.[28]  Morgenthau menjelaskan kepentingan nasional sebagai kemampuan dari suatu negara untuk mempertahankan keutuhan wilayahnya baik identitas fisik, politik dan budayanya. Kepentingan nasional berkaitan erat dengan ekonomi, keamanan dan kesejahteraan. Oleh karena kepentingan nasional tersebut maka suatu negara akan berhubungan dengan negara lain. Power merupakan alat untuk mencapai kepentingan nasional. Kepentingan nasional merupakan faktor utama bagi tindakan politik suatu negara. Tindakan politik tersebut yang disebut dengan kebijakan nasional. Apabila suatu negara memiliki power maka apapun kepentingan nasional yang hendak dicapai dapat terpenuhi. Power dapat membuat suatu negara mempengaruhi negara lain agar bertindak dan bersikap seperti yang diinginkan negara power tersebut.
Pihak-pihak yang menolak keputusan dari ICC mempunyai berbagai alasan dengan kepentingan masing-masing pihak. Kepentingan Bashir menolak perintah penangkapan karena sebagai seorang presiden ia tidak ingin kedaulatan negaranya di ganggu oleh pihak-pihak yang berusaha menganggunya. Ia melihat bahwa keputusan ICC telah disengaja untuk menjatuhkan dirinya dari kursi presiden. Uni Afrika dan Liga Arab memiliki kepentingan yaitu menjaga stabilitas keamanan di wilayah mereka agar tidak terpecah belah dari situasi-situasi yang tidak kondusif. China mempunyai kepentingan atas Sudan dengan minyak yang dimiliki oleg negara tersebut. Apabila China mendukung keputusan dari ICC maka akan berakibat bagi pasokan minyak mereka, sehingga untuk mengamankan minyak tersebut China memilih menolak perintah penangkapan Bashir.

F.   Asumsi
International Criminal Court (ICC) didirikan untuk mengadili individu-individu yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap war crimes, genocide dan crimes against humanity sesuai dengan Statuta Roma yang menjadi landasan hukum bagi ICC. Berdasarkan hal tersebut ICC melakukan peradilan terhadap Presiden Sudan Omar Al Bashir yang diputuskan bersalah dan bertanggung jawab atas terjadinya konflik Darfur serta diperintahkan untuk ditangkap.











G.    Model Analisis
 



















H.            Metode Penelitian

H.     Metode Penelitian
Dalam skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian eksplanatif kualitatif, yang mana data-data mengenai konflik Darfur, International Criminal Court (ICC) dan negara-negara yang menjadi kendala bagi ICC sebagai faktor internal dan eksternal serta berita-berita atau data-data yang terkait permasalahan ini dikumpulkan untuk proses penulisan. Pencarian dan pengumpulan data-data yang diperlukan dilakukan dengan mencari data-data tersebut ke (library research), dengan memperoleh buku-buku, literatur, jurnal, kliping koran dan lain-lain. Selain data yang diperoleh dari perpustakaan juga diperoleh dengan mencari melalui internet berdasarkan website-website resmi yang berkaitan dengan permasalahan konflik Darfur. Seperti website resmi PBB, www.un.org, website resmi ICC, www.icc-cpi.int dan lain-lain.

I.      Sistematika Penulisan
BAB I    : Pendahuluan
Di dalam BAB I penulis menjelaskan latar belakang permasalahan konflik di Darfur, dimana situasi dan kondisi dari Darfur dan pemerintah Sudan yang tidak kondusif sehingga menimbulkan krisis dan sengketa. Respon dan sikap dari dunia internasional dalam hal ini khususnya PBB dan ICC untuk membantu menyelesaikan konflik tersebut. Perumusan masalah yang memuat inti masalah dan pertanyaan penelitian; tujuan dan manfaat penelitian yaitu untuk mengetahui dan menjelaskan masalah yang ada; tinjauan pustaka yang digunakan sebagai penguat tulisan penelitian; kerangka teori berisikan teori-teori yang relevan digunakan dalam penulisan; asumsi; model analisa yang dibuat dalam menjawab permasalahan yang bersangkutan; metode penelitian sebagai uraian atas cara yang digunakan dari penelitian ini; dan sistematika penulisan yang merupakan rincian penulis yang akan dilakukan oleh penulis.
BAB II:    Republic of The Sudan dan Konflik Darfur.
Di dalam BAB II penulis akan membahas mengenai profil negara Sudan baik dari segi letak wilayah, geografis, penduduk, pemerintahan, ekonomi, politik dan lain-lain. Menjelaskan profil Presiden Omar Al Bashir, kudeta yang dilakukan untuk merebut kekuasaan dari pemerintahan koalisi, sistem pemerintahan dibawah Bashir. Menjelaskan situasi yang terjadi di wilayah Sudan Utara dan Sudan Selatan, munculnya kelompok pemberontak yaitu SPLM/A dan JEM akibat diskriminasi yang dilakukan pemerintah Sudan. Pecahnya konflik Darfur antara pemerintah pusat dengan kelompok pemberontak pada tahun 2003. Konflik yang menimbulkan korban berjatuhan, kehilangan tempat tinggal dan menjadi Internally Displaced Persons. Pihak yang menjadi korban merupakan penduduk sipil terutama berasal dari suku Fur, Massalit dan Zaghawa.
BAB III: Upaya Penyelesaian Konflik Darfur : Dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Ke International Criminal Court (ICC).
Di dalam BAB III penulis akan membahas keterlibatan PBB dalam hal ini Dewan Keamanan, DK mengeluarkan resolusi-resolusi mengenai konflik Darfur. Berdasarkan resolusi 1593 tahun 2005, konflik Darfur diserahkan ke ICC. Menjelaskan tentang sejarah pembentukan pengadilan internasional sampai pembentukan ICC. Menjelaskan profil ICC, Statuta Roma yang menjadi dasar hukum untuk mendakwa seseorang yang diduga melakukan war crimes, genocide dan crimes against humanity. Proses penyelidikan terhadap konflik Darfur yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Ocampo dan keputusan untuk menangkap Presiden Bashir. Kendala yang dihadapi oleh ICC terkait keputusan tersebut karena adanya penolakan dari faktor internal dan eksternal.
BAB IV: Kendala Implementasi Keputusan International Criminal Court Menangkap Presiden Bashir : Faktor Internal dan Faktor Eksternal.
Keputusan ICC untuk menangkap Bashir mendapat penolakan dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal datang dari Bashir menolak keputusan tersebut dengan menyatakan bahwa yang terjadi di Darfur tidak seperti yang diberitakan oleh berbagai pihak. Para ulama mengeluarkan fatwa larangan berpergian bagi Bashir yang dikhawatirkan akan ditangkap jika berada di luar negeri. Faktor eksternal datang dari Uni Afrika, Liga Arab dan Cina. Uni Afrika dan Liga Arab menolak keputusan tersebut karena dinilai akan semakin memperkeruh keadaan dan membahayakan stabilitas serta keamanan negara Sudan. Cina menolak keputusan tersebut karena memiliki kepentingan nasional yakni minyak.
BAB V: Kesimpulan
BAB ini merupakan bab yang berisikan kesimpulan dari penulis.



[1] ”Negara dan Bangsa Afrika”, Grolier International, inc, PT.Widyadara, 1993, hlm. 429.
[2] ”Negeri-negeri Muslim yang Terjajah: Sudan Selatan”, Pustaka Tharidul Izzah, 2005, hlm, 136.
[3] Dr. Abdul Hadi Adnan, ”Perkembangan Hubungan Internasional Di Afrika”, Bandung : CV.Angkasa, 2008, hlm. 46.
[4] Ibid.
[5] http://www.sudanewsembassy.org/pdf/sudanews05.pdf, diakses pada tanggal 13 Mei 2010 pukul 16.04 WIB.
[6] “Negara dan Bangsa Afrika”, Op.cit, hlm. 430.
[7] Sharon Alavi, “Justice for War Crimes in Sudan: Is The International Criminal Court The Answer?”, International Affairs Review Volume XV, No.1 Spring/Summer 2006, hlm. 75.
[9] Individu atau sekelompok orang yang dipaksa harus meninggalkan rumah atau tempat tinggal mereka. Pada situasi khusus seperti menghindari diri dari konflik senjata, kekerasan, pelanggaran terhadap hak asasi manusia, dan bencana alam atau manusia. Berdasarkan keadaan tersebut mereka berusaha untuk pindah tempat dengan pergi ke perbatasan negara tetangga tetapi faktanya mereka tidak dapat menyebrang.
[11] http://www.un.org/docs/sc/unsc-resolutions04.html, diakses pada tanggal 03 Mei 2010 pukul 21.00 WIB.
[12] Op.cit
[13] http://www.un.org/docs/sc/unsc-resolutions05.html, diakses pada tanggal 03 Mei 2010 pukul 21.03 WIB.
[14] ICC didirikan pada tahun 1998, saat berlangsungnya Konferensi Diplomatik PBB di Roma Italia. ICC mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2002, yang merupakan pengadilan pidana pertama yang permanen dan independen. Tujuan didirikannya pengadilan untuk mengadili individu yang melakukan tindak kejahatan seperti war crimes, crimes against humanity dan genocide.
[17] Seseorang bertanggung jawab secara pidana dan dapat dikenai hukuman atas suatu kejahatan yang menjadi Jurisdiksi Mahkamah, dimana individu tersebut melakukan suatu kejahatan baik sebagai pribadi sendiri, bersama orang lain atau lewat seseorang lain tanpa memandang apakah orang lain tersebut bertanggung jawab secara pidana.
[18]http://www.icc-cpi.int/menus/icc/situationsandcases/situations/situationicc0205/ relatedcases / icc02050109/icc02050109, diakses pada tanggal 16 April 2010 pukul 22.45 WIB.       
[23] Dwijaya Kusuma, “China Mencari Minyak, Cina ke Seluruh Dunia 1990-2007 ”, Centre for Chinese Studies FIB-UI, 2008, hlm, 51.
[25] Prinsip utama dari Hukum Humaniter Internasional ialah meskipun terjadi perang tetapi nilai-nilai kemanusiaan harus tetap dihormati. Terjadinya pelanggaran terhadap Protokol Tambahan II Konvensi Jenewa 1977 yang mengatur perlindungan terhadap korban sengketa bersenjata non-internasional.
[26] http://hdr.undp.org/en/reports/global/hdr1994/chapters/, diakses pada tanggal 20 Juli 2010 pukul 22.25 WIB.
[27] John Rawls, “A Theory of Justice”, Revised Edition, Oxford University Press, 2000, hlm 57.
[28] Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations, “The Struggle and Peace”, (New York, Alfred W.Knopf, Inc, 1985).

1 komentar:

  1. Harrah's Cherokee Casino Resort - Mapyro
    Find Harrah's Cherokee Casino 상주 출장안마 Resort, owned by the Eastern 밀양 출장샵 Band of Cherokee 안양 출장안마 Indians, United States of America map. Harrah's Cherokee Casino Resort. 용인 출장마사지 Map. 고양 출장안마 Harrah's

    BalasHapus